Jakarta –
Sejumlah pernyataan kontroversial calon Gubernur Diki Jakarta Dharma Pongrekun ramai diperbincangkan. Salah satunya terkait pernyataan keraguan terkait tes PCR. Dharma adalah satu-satunya penemuan global dalam epidemi COVID-19, dan tes PCR tidak mendeteksi keberadaan virus, melainkan asidosis.
“Banyak dari kita yang belum memahami bahwa tes PCR yang digunakan selama ini bukan untuk menguji virus. Jadi (tes PCR) hanya untuk memastikan adanya asidosis,” kata Dharma.
Ahli epidemiologi Dickie Budiman dari Universitas Griffith Australia menyayangkan pernyataan calon pemimpin tersebut tidak mencerminkan pemikiran berbasis sains. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat dan berujung pada epidemi yang tidak terkendali.
Ia menegaskan, tes PCR digunakan sebagai 'standar emas' untuk mengukur virus Covid-19 pada tingkat yang berbeda. PCR dapat digunakan untuk mengisolasi RNA dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
“Karena RNA virusnya spesifik, PCR merupakan metode yang sangat akurat dan sensitif, meskipun jumlah virus di dalam tubuh sangat sedikit. Ini adalah sampel pertama dalam tes Covid-19,” kata Dickey kepada DetCom di Senin (7/10/2024).
“Sampelnya diambil dari saluran pernafasan, biasanya lewat usap nasofaring, ada juga yang diekstraksi RNA SARS-CoV-2, diambil dari sampelnya, lalu amplifikasi ketiga, diulang. Artinya RNA virusnya diperbanyak. Dengan menggunakan enzim, jelas merupakan detektor keempat yang harus dikenali. “Jadi setelah RNA direplikasi, PCR ini bisa mendeteksi keberadaan gen virus, sehingga memberikan hasil apakah seseorang tertular atau tidak,” jelas Dickey.
Dickey mengaku heran PCR berkorelasi dengan diagnosis asidosis. Untuk informasi lebih lanjut Asidosis adalah jumlah asam dalam tubuh, yang diukur dengan tes darah. Yaitu mengukur pH darah.
“Itu bukan tes PCR, nah PCR adalah metode yang sangat berbeda untuk mengidentifikasi materi genetik dan tidak ada hubungannya dengan mengukur jumlah asam dalam tubuh, pertanyaan untuk mengidentifikasi asidosis itu sangat salah,” ujarnya.
“Informasi yang salah ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap alat dan metode kesehatan yang terbukti efektif dalam melawan epidemi, kemudian masyarakat tidak akan mempercayai tes PCR, masyarakat akan ragu untuk melakukan tes COVID-19 yang menyebabkan virus tersebut. Itu telah menyebar tanpa terdeteksi,” dia memperingatkan.
(Naf/Kna)