Ia mengaku sudah lama menderita gangguan kecemasan. Namun empat tahun lalu, saat wabah virus COVID-19 merebak, dia merasa gangguannya semakin parah.
“Karena sebenernya gejalanya mungkin sudah lama saya rasakan. Mungkin waktu epidemi kan lebih tertangani stadiumnya ya, orang bisa bilang ada yang namanya cemas, lalu ada yang mental. Iya kan penyakit setelah wabah ini? Setelah itu, “dari psikolog tersebut saya terus berkonsultasi dan memastikan bahwa diagnosis yang saya buat benar, dan diagnosisnya sama,” ujarnya. Ditemui di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, Jumat (8 /3/2024).Andhara Early mengatakan gangguan kecemasannya berada pada titik terendah. Namun, ia ingin menyembuhkan penyakitnya tanpa obat.
“Untungnya stadiumnya masih rendah, tapi saya bantah butuh bantuan obat-obatan,” ujarnya.
Andhra sedang mencari obat depresi tanpa obat. Dia bertekad untuk melakukannya.
“Dari meditasi, belajar nafas, lalu ada proses jurnalistik dan banyak konseling dan banyak pelatihan, ada psikolog, jadi itu saja. Oke, saya harus sembuh dan saya bisa sembuh tanpa obat, bagaimana saya bisa sembuh?” lakukanlah. Cobalah,” katanya.
Andhara Early pun tak memungkiri menderita gangguan kecemasan. Dia menerima dan berdamai dengan rasa sakitnya.
“Untungnya saya tidak memungkiri. Saya yang langsung bilang, oh ini yang namanya kegelisahan. Ya penyakitnya harus kita terima, kita harus berdamai,” tutupnya.